Oleh SBS
Korea Utara (Respublik Rakyat Demokratik Korea atau DPRK) dikenal sebagai negara yang sangat tertutup dengan sistem politik yang sangat terpusat pada satu individu, yaitu Pemimpin Tertinggi. Sejak pendiriannya pada 1948, Korea Utara telah dipimpin oleh keluarga Kim, yang kini diteruskan oleh Kim Jong-un. Proses perebutan kekuasaan di negara ini bukanlah hal yang terbuka atau transparan, tetapi lebih didominasi oleh strategi internal yang sangat terstruktur dan penuh dengan intrik politik. Artikel ini akan membahas cara dan gaya politikus Korea Utara dalam memperebutkan kekuasaan.
1. Pemimpin Tertinggi sebagai Pusat Kekuasaan
Di Korea Utara, kekuasaan sangat terkonsentrasi pada satu individu, yaitu Pemimpin Tertinggi. Sistem ini dimulai dengan Kim Il-sung, yang mendirikan negara tersebut pada tahun 1948, dan diteruskan oleh anaknya Kim Jong-il, lalu cucunya Kim Jong-un. Bagi politikus Korea Utara, perebutan kekuasaan tidak hanya melibatkan politik konvensional, tetapi juga berhubungan dengan sistem dinasti yang sangat terpusat. Oleh karena itu, ambisi untuk memperebutkan kekuasaan sering kali berkaitan dengan hubungan keluarga, loyalitas terhadap dinasti Kim, dan pertarungan internal di dalam partai yang memerintah, yaitu Partai Pekerja Korea (WPK).
2. Perebutan Kekuasaan dalam Lingkup Keluarga
Perebutan kekuasaan di Korea Utara sering kali berakar pada pertarungan keluarga. Setelah kematian Kim Il-sung pada 1994, anaknya, Kim Jong-il, mengambil alih kekuasaan. Namun, proses transisi ini tidak semulus yang diharapkan. Kim Jong-il menghadapi banyak tantangan, termasuk dari sejumlah anggota keluarga yang ingin menggantikan posisinya. Ketika Kim Jong-il jatuh sakit pada akhir 2000-an, perebutan kekuasaan di dalam keluarga Kim kembali terjadi.
Kim Jong-un, anak bungsu dari Kim Jong-il, pada awalnya bukanlah pilihan utama sebagai penerus. Beberapa anggota keluarga dan elit politik lainnya sempat diharapkan untuk mengambil alih kepemimpinan, tetapi akhirnya Kim Jong-un muncul sebagai penerus. Proses ini menunjukkan bahwa meskipun faktor dinasti sangat dominan, perebutan kekuasaan dalam lingkup keluarga tetap terjadi melalui pergeseran internal, yang sering kali tidak terlihat oleh publik.
3. Pentingnya Loyalitas dalam Politik Korea Utara
Loyalitas adalah salah satu aspek terpenting dalam politik Korea Utara. Sistem yang dibangun oleh Kim Il-sung menekankan pada budaya pengabdian total kepada pemimpin dan negara. Dalam banyak kasus, para politikus yang ingin memperebutkan kekuasaan harus terlebih dahulu menunjukkan kesetiaan tanpa syarat kepada Pemimpin Tertinggi. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal kekuasaan politik, tetapi lebih kepada hubungan personal dengan pemimpin dan partai.
Kekuasaan di Korea Utara tidak bisa diperoleh dengan cara konvensional seperti pemilihan umum atau proses demokrasi terbuka. Sebaliknya, proses naiknya seorang politikus sering kali bergantung pada kedekatannya dengan Pemimpin Tertinggi, serta kemampuannya untuk menjaga stabilitas internal dan mengalahkan lawan politik dalam intrik istana. Orang-orang yang dianggap tidak loyal atau yang mencoba merongrong kekuasaan Pemimpin Tertinggi sering kali dihukum dengan cara yang sangat keras, seperti dipecat, dipenjara, atau bahkan dieksekusi.
4. Perebutan Kekuasaan dalam Struktur Militer dan Partai
Selain faktor keluarga, perebutan kekuasaan di Korea Utara juga sangat dipengaruhi oleh struktur militer dan partai. Militer di Korea Utara memiliki kekuatan yang sangat besar dan merupakan salah satu pilar utama dari kekuasaan Kim Jong-un. Para jenderal dan pejabat tinggi militer memainkan peran penting dalam mempertahankan posisi Pemimpin Tertinggi.
Namun, meskipun militer memainkan peran besar, struktur Partai Pekerja Korea (WPK) juga sangat penting. WPK adalah partai yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan di negara ini, dan pemilihan pejabat tinggi partai sering kali bergantung pada siapa yang berhasil menguasai posisi strategis dalam partai. Pada periode Kim Jong-un, kita melihat upaya untuk menyingkirkan pejabat tinggi yang dianggap terlalu kuat dan bisa menjadi ancaman, seperti kasus eksekusi Jang Song-thaek, paman dari Kim Jong-un, yang diduga terlibat dalam konspirasi untuk menggulingkan pemimpin muda tersebut.
Politikus yang ingin naik ke tampuk kekuasaan perlu membangun aliansi dengan elit militer dan partai, serta menjaga keseimbangan kekuasaan di antara keduanya. Salah satu strategi yang digunakan Kim Jong-un untuk mengonsolidasikan kekuasaannya adalah dengan melakukan "pembersihan" terhadap orang-orang yang dianggap berpotensi menantang otoritasnya, seperti yang dilakukan pada tahun 2013 terhadap Jang Song-thaek, yang merupakan figur penting dalam pemerintahan sebelumnya.
5. Penggunaan Teror dan Pengawasan untuk Menjaga Kekuasaan
Salah satu aspek penting dalam cara politikus Korea Utara mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan adalah penggunaan teror dan pengawasan yang ketat. Pemerintah Korea Utara sangat terkontrol, dengan pengawasan yang dilakukan pada hampir setiap aspek kehidupan warganya. Salah satu instrumen pengawasan yang paling terkenal adalah sistem "polisi rahasia" yang berfungsi untuk memantau kemungkinan adanya ancaman terhadap kepemimpinan Kim Jong-un.
Penggunaan teror bukan hanya terjadi pada lawan politik eksternal, tetapi juga di dalam sistem pemerintahan itu sendiri. Pejabat tinggi dan elit yang dianggap tidak cukup loyal atau berpotensi membahayakan stabilitas kekuasaan sering kali menjadi target pembersihan yang kejam. Salah satu contoh paling mencolok adalah eksekusi terhadap Jang Song-thaek pada 2013, yang pada saat itu merupakan salah satu pejabat paling berpengaruh di Korea Utara.
6. Strategi Propaganda dan Isolasi Internasional
Untuk memperkuat kekuasaannya, Korea Utara juga menggunakan strategi propaganda yang masif. Negara ini membangun citra pemimpin yang kuat dan tak tergoyahkan melalui media negara, yang hampir sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Kim Jong-un digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki kemampuan luar biasa dan memimpin negara menuju kemakmuran, meskipun kenyataannya negara ini mengalami kesulitan ekonomi yang parah.
Selain itu, Korea Utara sangat menekankan isolasi internasional, yang memungkinkan Pemimpin Tertinggi untuk mempertahankan kontrol penuh tanpa tekanan dari luar. Sanksi internasional yang diterapkan oleh PBB dan negara-negara besar tidak pernah mengganggu stabilitas politik dalam negeri, karena sistem yang ada telah terbiasa dengan keadaan terisolasi dan mampu mengendalikan oposisi dengan cara-cara yang sangat represif.
7. Kesimpulan
Perebutan kekuasaan di Korea Utara sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga, loyalitas, militer, dan struktur partai. Politik di negara ini berlangsung dalam kerangka yang sangat terpusat, dengan Pemimpin Tertinggi sebagai figur yang hampir tak tergoyahkan. Para politikus yang ingin memperebutkan kekuasaan harus memiliki strategi yang cerdik dalam mempertahankan loyalitas, membangun aliansi dengan kekuatan militer dan partai, serta menjaga citra mereka melalui propaganda yang efektif.
Proses perebutan kekuasaan di Korea Utara juga sangat bergantung pada keteguhan dalam menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri. Teror, pengawasan, dan pembersihan terhadap lawan politik menjadi bagian dari taktik yang digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang sangat terpusat, Kim Jong-un dan keluarga Kim lainnya tetap menjadi pusat dari seluruh dinamika politik yang ada di negara tersebut.